My Year in Review: 2020

It never gets easier, you just get better. 💪


This year is not that good for almost everyone. Many people lost their loved ones due to health situation. Many people also lost their jobs due to economic crisis.


Year 2020 showed us what essentials in our life and why we should be grateful. If we are still alive and have good relationship with our loved ones, these are more than enough to be thankful.


This blog post is an annual review of what happened in my life in 2020, what went well and what didn't go well, so I can learn something from the past year experiences.


Suitmedia Goes to Bali (2020)


January

I spent end-year vacation in Bali to attend my friend's wedding, returned to Jakarta on January 1st, and was greeted a flood. Our flight couldn't land at HLP and had to land at CGK airport. 😅


This month I felt productive since I wrote summaries of two my favourite books : The E-Myth and ReWork. Those are two of the most influential books for my professional life.


February

On February 10, we had a blessing to have a company retreat in Bali. We stayed in Bali for 3 days and some people extended their holidays. I feel really grateful for working with my current teammates.



On February 19, I joined Kelas Inspirasi Bandung and this time I took role as teaching volunteer after three years of being facilitator. This volunteering event was also the only Kelas Inspirasi that I involved in 2020 because there is no direct interaction in school during pandemics.


Bersepeda Jakarta-Bogor

Seminggu yang lalu, 21 November 2020, adalah pertama kalinya saya bersepeda > 100 km, dari Jakarta ke Bogor dan langsung balik ke Jakarta lagi.

Ini merupakan salah satu pengalaman paling seru selama saya bersepeda, karena jarak tempuh terjauh saya sebelumnya hanya sekitar 60 km. Selain itu, ini juga merupakan Gran Fondo pertama saya di Strava.

Tulisan ini merangkum apa saja riset, persiapan, dan pengalaman yang saya alami untuk solo ride ini. Semoga bermanfaat dan tetap jaga kesehatan! :)

My first Gran Fondo: Pejaten - Kebun Raya (round trip)


Research
Ada tiga hal yang saya cari tahu secara detail sebelum gowes > 100 km, yaitu: track (jalur perjalanan), pit stop (untuk istirahat pendek), dan cafe (untuk istirahat panjang dan ngopi-ngopi setelah sampai di tujuan).

Untuk jalur perjalanan, ada tiga alternatif jalur sepeda dari Jakarta ke Bogor, yaitu: via Jl. Raya Bogor (44.6 km), via Margonda - Citayam (44.6 km), atau via Parung (54.2 km). Informasi jarak tempuh yang saya tulis di sini adalah jarak dari kantor saya di Pejaten Barat (Jakarta Selatan) menuju Kebun Raya Bogor, satu arah perjalanan.

Dari ketiga alternatif jalur tersebut, saya cek kondisi jalanannya melalui Google Street View untuk memilih jalur mana yang aspalnya bagus dan relatif datar. Pada akhirnya saya memilih jalur via Jl. Raya Bogor karena itu yang paling familiar bagi saya dan ada banyak tukang ban di sepanjang jalan.

Sedekah: Sebuah Nilai Universal

Bersedekah merupakan salah satu nilai kemanusiaan yang memiliki sifat universal. Semua agama mengajarkan tentang pentingnya bersedekah atau memberi kepada orang-orang yang kurang mampu.


Tulisan ini merangkum berbagai referensi yang saya pelajari tentang bersedekah menurut beberapa ajaran agama. Semoga tulisan ini dapat memberikan inspirasi bagi diri sendiri dan pembaca untuk lebih banyak bersedekah di masa-masa seperti sekarang.


Photo by Kat Yukawa


Sedekah dalam Judaism

Dalam agama Judaism, konsep sedekah dikenal dengan istilah "Tzedakah" (צדקה), yang secara harfiah berarti "kebenaran" dalam bahasa Ibrani. Tzedakah dianggap sebagai kewajiban dalam ajaran Judaism, di mana sebesar 10% penghasilan bersih harus diberikan kepada orang-orang miskin, termasuk anak yatim, janda miskin, dan orang yang tidak dikenal.

Cognitive Bias

Bias kognitif (cognitive bias) merupakan kesalahan sistematis dalam memproses dan memahami informasi yang diterima, sehingga mempengaruhi penilaian dan keputusan yang diambil.


Meskipun bias kognitif ini sering dianggap sama dengan kesalahan logika (logical fallacy), keduanya merupakan hal yang berbeda. Logical fallacy hanyalah salah satu gejala dari bias kognitif.


Logical fallacy disebabkan oleh ketidakmampuan berpikir secara logis atau menyampaikan argumentasi yang logis, sedangkan bias kognitif disebabkan oleh pengaruh emosi, pengaruh motivasi, tekanan sosial, atau bahkan keterbatasan otak dalam memproses informasi.


Source: VisualCapitalist


Dengan memahami bias kognitif kita bisa mengetahui mengapa seseorang atau sekelompok masyarakat berperilaku tertentu, sehingga kita akhirnya bisa membuat keputusan yang lebih baik atau bisa membuat kondisi supaya terjadi suatu perilaku yang kita inginkan (behavioral nudge).


Berikut ini beberapa jenis bias kognitif yang biasanya kita temukan sehari-hari:


#1 - Kita lebih memperhatikan hal-hal yang sudah ada di memori kita atau yang sering terulang.


Availability heuristic

Kecenderungan untuk melebih-lebihkan kemungkinan terjadinya hal-hal yang kita tahu (atau baca dari berita) dan meremehkan kemungkinan terjadinya hal-hal yang kita belum kita tahu (atau yang tidak pernah diberitakan).


Source: Verywell Mind


Attentional bias

Kecenderungan persepsi kita dipengaruhi oleh apa yang sering kita perhatikan. Contoh: Orang yang sering memikirkan baju apa yang mereka pakai akan lebih memberikan perhatian kepada baju apa yang dipakai oleh orang lain.


Illusory truth effect

Kecenderungan untuk lebih percaya hal yang familiar daripada yang tidak familiar terlepas apakah hal tersebut valid atau tidak.


Source: Dan Piraro


Cue-dependent forgetting

Kecenderungan untuk tidak bisa mengingat suatu hal tanpa adanya suatu petunjuk.


Mood-congruent memory bias

Daya ingat atas informasi menyesuaikan dengan suasana hati seseorang saat mengingatnya.


Source: John F. Kihlstrom


Frequency illusion / Baader-Meinhof phenomenon

Ilusi di mana sesuatu hal atau sebuah kata yang baru saja diperhatikan seolah-olah menjadi sering muncul setelahnya.


Source: Buzzfeed


Empathy gap

Kecenderungan untuk kesulitan memahami situasi mental orang lain yang berbeda situasi mental dengan kita saat ini. Contoh: seseorang yang tinggal di negara yang selalu damai akan kesulitan membayangkan perspektif dari seseorang yang tinggal di negara yang mengalami konflik atau perang.


Omission bias

Kecenderungan untuk menilai tindakan berbahaya sebagai hal yang lebih buruk atau kurang bermoral daripada kelalaian yang menimbulkan kerugian yang sama. Contoh: Kita cenderung menyalahkan seseorang yang mengalami kecelakaan saat menyetir dalam keadaan mabuk daripada menyalahkan temannya yang membiarkannya menyetir dalam keadaan mabuk, padahal kelalaian keduanya menimbulkan kerugian yang sama.


Base rate fallacy

Kecenderungan untuk terlalu fokus pada informasi yang spesifik dan mengabaikan informasi yang sifatnya lebih umum.


Source: The Decision Lab


#2 - Kita lebih mengingat hal-hal yang aneh, lucu, atau mencolok secara visual.


Bizareness effect

Hal-hal yang aneh biasanya lebih diingat daripada hal-hal yang umum.


Source: CramerSaatchi


Humor effect

Hal-hal yang lucu biasanya lebih diingat daripada hal-hal yang umum, karena kekhasan humor, kecepatan kognitif untuk memahami humor, atau gairah emosional yang disebabkan oleh humor tersebut.


Von Restorff effect / Isolation effect

Kecenderungan untuk lebih mudah mengingat hal-hal yang paling berbeda dibandingkan yang lain.


Source: UX Knowledge Base Sketch


Picture superiority effect

Kecenderungan untuk lebih mudah mengingat konsep yang dipelajari dengan cara melihat gambar daripada melihat kata-kata yang ditulis oleh orang lain.


Source: Dorotea Kovačević


Negativity bias

Kecenderungan untuk lebih mengingat pengalaman yang negatif daripada mengingat pengalaman yang positif.


Source: The Science Dog

11 Lessons Learned from "The 4-Hour Workweek"

"The 4-Hour Workweek" is the first Tim Ferriss' books that I read three years ago. This book has some good insights which I agree and some I disagree. Actually there are even more insights from Tim's other books such as "Tools of Titans" and "Tribe of Mentors". But here are some lessons I learned from T4HWW.


Chilling at Nusa Dua, Bali (March 2017)


#1 - Different is better when it is more effective or more fun.

If everyone is defining a problem or solving it one way and the results are subpar, this is the time to ask, What if I did the opposite? Don’t follow a model that doesn’t work. If the recipe sucks, it doesn’t matter how good a cook you are.


#2 - What you do is infinitely more important than how you do it.

Effectiveness is doing the things that get you closer to your goals. Efficiency is performing a given task (whether important or not) in the most economical manner possible. Doing something unimportant well does not make it important. Requiring a lot of time does not make a task important. Efficiency is still important, but it is useless unless applied to the right things.


#3 - Focus on being productive instead of busy.

Doing less meaningless work, so that you can focus on things of greater personal importance, is NOT laziness. Being busy is a form of laziness—lazy thinking and indiscriminate action. Being overwhelmed is often as unproductive as doing nothing, and is far more unpleasant. Being selective—doing less—is the path of the productive. Focus on the important few and ignore the rest. It’s easy to get caught in a flood of minutiae, and the key to not feeling rushed is remembering that lack of time is actually lack of priorities.

Persiapan Resesi: Tetap Sehat, Terus Semangat!

Resesi artinya kelesuan kegiatan ekonomi, yang secara teknis ditandai dengan penurunan produk domestik bruto selama dua triwulan berturut-turut.


Perekonomian kita sebenarnya perlahan mulai pulih di triwulan ketiga ini. Di triwulan kedua yang lalu kita mengalami perlambatan ekonomi, di mana produk domestik bruto kita turun 5,32%. Di triwulan ketiga, saya melihat banyak bisnis mulai bangkit, meskipun belum sepenuhnya pulih.


Namun, selama akar permasalahan krisis ekonomi yang kita alami – yaitu krisis kesehatan akibat pandemi – belum diselesaikan, maka krisis ini belum akan berkesudahan. Ditambah lagi dengan ketidakcakapan pemerintah pusat dan pemprov DKI Jakarta dalam penegakan protokol kesehatan, PSBB terpaksa kembali dilaksanakan, dan hal ini pasti berdampak pada perekonomian kita.


Saya mencoba menggambarkan apa yang perlu kita lakukan saat ini (sebagai individu) supaya kita bisa lebih tahan resesi.


Memaknai Kemerdekaan

Tujuh puluh lima tahun yang lalu Soekarno, Hatta, dan para pejuang lainnya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dengan adanya proklamasi tersebut berarti bangsa Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa yang bebas, melepaskan diri dari penjajahan. Para pejuang kemerdekaan menyatakan untuk berdaulat atas bangsa kita sendiri, mau membangun negara ini, tanpa campur tangan negara lain. Kita bersama-sama bertekad untuk membawa Indonesia maju, menjadi bangsa yang lebih baik daripada sebelumnya saat masih dijajah oleh bangsa lain.


Tahun ini acara 17-an di kantor cukup unik. Karena kita masih disarankan untuk bekerja dari rumah, jadi semua acarapun diadakan secara virtual, termasuk upacara bendera virtual. Tahun ini pula saya kali pertama diminta untuk membawakan amanat pembina upacara. Saya jadi merenungi sebenarnya apa makna kemerdekaan yang sesuai dengan konteks yang kita alami saat ini.


Upacara Bendera Virtual – Suitmedia 2020

Menuju New Normal: Reaction, Resilience, Recovery

Tahun ini hampir seluruh negara di dunia mengalami permasalahan yang sama, yaitu pandemi COVID-19, yang akhirnya menyebabkan perlambatan ekonomi.


Berdasarkan dampaknya terhadap kesehatan publik dan perekonomian, secara garis besar saya membagi masa pandemi ini menjadi tiga fase, yaitu 3R: Reaction, Resilience, dan Recovery.

Fase #1: Reaction – Awal krisis kesehatan

WHO menyatakan terjadi outbreak COVID-19 di bulan Januari dan kemudian meningkatkan statusnya menjadi pandemi pada tanggal 11 Maret. Perusahaan-perusahaan di Indonesia yang harus impor bahan baku atau bahan jadi dari China pun mulai mengalami permasalahan supply chain karena China sudah mengalami outbreak terlebih dahulu sejak Desember tahun lalu dan bahkan harus melakukan lockdown salah satu kota terpadatnya selama lebih dari 2 bulan.


Lalu, saat negara-negara besar lainnya, seperti US, mulai mengalami pandemi COVID-19, perusahaan-perusahaan Indonesia yang mengandalkan ekspor ke pasar negara-negara tersebut pun mulai mengalami permasalahan penurunan demand secara signifikan.


Di Indonesia, BNPB sudah menyatakan status darurat bencana sejak 29 Februari dan disusul konfirmasi kasus pertama pada awal Maret. Pemprov DKI Jakarta pun akhirnya menerbitkan surat edaran untuk melakukan social distancing, antara lain dengan meliburkan anak sekolah (belajar dari rumah) dan menganjurkan semua warganya yang mampu untuk bekerja dari rumah.

Hal ini secara perlahan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, mulai sektor informal dan UMKM sampai ke sektor lainnya. Bahkan ada beberapa perusahaan besar mulai menahan belanja investasinya sejak bulan Maret.

Sumber: Avasant (2020)

Fase #2: Resilience – Perlambatan ekonomi

Mulai bulan April, dampak kesehatan dari pandemi COVID-19 mulai semakin terdengar di seluruh segmen masyarakat. Jumlah korban yang meninggal dunia terus meningkat. Pemerintah pun akhirnya menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sambil terus melakukan tes massal dan penelusuran kontak.

Sumber: Board of Innovation (2020)

Di sisi lain, dampak ekonomi dari pandemi mulai terasa, terutama di industri yang melibatkan interaksi antar manusia yang tinggi, mengharuskan konsumen melakukan perjalanan, atau merupakan kebutuhan sekunder/tersier yang bisa ditunda atau dihilangkan.

Banyak perusahaan di industri tersebut akhirnya tidak bisa beroperasi dan terpaksa merumahkan (furlough atau unpaid leave) pekerjanya. Hanya sebagian kecil yang bisa melakukan inovasi model bisnisnya. Bisa dipastikan perekonomian kita tumbuh negatif di Q2 tahun ini.


Sampai tulisan ini dibuat, Indonesia masih di fase ini, tanpa ada kejelasan kapan krisis kesehatan dan perlambatan ekonomi akan benar-benar selesai. Bagi yang optimistis, fase ini hanya disebut sebagai perlambatan ekonomi (economic slowdown) saja karena diharapkan bisa selesai paling lambat di Q3 tahun ini. Sementara itu bagi yang pesimistis, fase ini disebut sebagai resesi ekonomi, karena diprediksi akan terjadi pertumbuhan negatif selama lebih dari 2 kuartal, dan pemulihan ekonomi akan pulih paling cepat pertengahan tahun depan.


Fase #3: Recovery – Pemulihan ekonomi

Hanya ada dua cara supaya krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19 ini berakhir, yaitu penghentian penyebaran atau kekebalan komunitas.

Cara pertama, penghentian penyebaran virus 2019-nCov hanya bisa terjadi jika dilakukan kombinasi dari pembatasan sosial, tes massal, dan penelusuran kontak. Namun, sayang sekali ketiga hal ini susah sekali dilakukan di Indonesia. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak ditegakkan secara tegas, tidak ada sanksi pidana atau denda. Tes massal pun dilakukan dalam jumlah yang relatif sangat sedikit jika dibandingkan jumlah penduduk yang berpotensi terpapar virus. Penelusuran kontak pun susah untuk akurat jika tidak ada pembatasan jarak fisik di ruang publik.

Cara kedua, kekebalan komunitas, hanya bisa terjadi jika sudah ada vaksin atau sebagian besar penduduk sudah terpapar virus dan sembuh sendiri. Vaksin COVID-19 masih dalam tahap pengujian dan belum tau kapan bisa diproduksi massal dan disuntikkan ke sebagian besar penduduk, mungkin tahun depan. Mau tidak mau, kita hanya memiliki satu opsi terakhir, yaitu membiarkan sebagian besar penduduk terpapar virus dan berharap semuanya sembuh sendiri. Lalu, untuk meminimalisir jumlah korban, pemerintah akan memberikan petunjuk pola hidup baru – yang semoga saja bisa diterapkan dan ditegakkan secara serius – serta tetap melakukan pembatasan sosial pada segmen masyarakat yang relatif lemah terhadap virus ini.

Sumber: Tempo (2020)

Untuk meminimalisir dampak ekonomi akibat pandemi, rencananya pemerintah akan melakukan relaksasi PSBB mulai dari awal Juni dan dilaksanakan secara berangsur sampai dengan akhir Juli. Bagi golongan yang optimistis, termasuk saya, rencana pemerintah ini seharusnya bisa memulihkan kondisi perekonomian nasional, paling lambat di bulan September, akhir Q3. Amin!


Secara makroekonomi, ada beberapa alternatif hasil pemulihan yang mungkin terjadi, antara lain: V-shape, W-shape, U-shape, dan L-shape. Masing-masing alternatif tersebut menggambarkan bentuk kurva grafik pertumbuhan ekonomi saat terjadi pemulihan ekonomi.
  • V-shape : Ada penurunan tajam, tapi pemulihannya cepat, biasanya berkisar antara 3-6 bulan. Ini merupakan alternatif terbaik yang ada. Contohnya: manufaktur pasca lockdown di Wuhan.
  • W-shape: Variasi dari V-shape, ada penurunan tajam, lalu pulih cepat untuk sesaat, tapi turun lagi, dan akhirnya benar-benar pulih. Jumlah ups and downs bisa saja terjadi lebih dari dua kali.
    • U-shape : Ada penurunan secara perlahan untuk jangka waktu yang cukup panjang, lalu pemulihannya pun membutuhkan waktu yang setidaknya sama panjang dengan waktu penurunannya, biasanya berkisar antara 1-2 tahun. Contohnya: krisis Amerika 2008, krisis Indonesia 1997.
    • L-shape : Terjadi depresi ekonomi atau resesi yang butuh waktu sangat lama untuk pemulihannya, bisa berkisar antara 3-10 tahun. Contohnya: krisis Yunani 2008, lost decade Jepang 1990-an, great depression Amerika 1920-an.

    Mengelola Keuangan Pribadi

    Beberapa hari yang lalu saya membaca kembali tulisan lama saya di blog, yaitu tentang cara mencatat keuangan pribadi. Tulisan tersebut ditulis 8 tahun yang lalu, saat saya mulai belajar mengatur keuangan pribadi, mencatat semua pengeluaran sehari-hari, serta mulai investasi saham dan reksa dana.

    Saat itu saya belum belajar keuangan secara formal. Semuanya saya pelajari secara otodidak, mulai dari baca buku Intelligent Investor dan literatur finance lainnya, belajar saham dari forum Kaskus dan berbagai mailing list, sampai ambil cuti untuk ikut sekolah pasar modal di BEI tahun 2010.

    Setelah baca lebih banyak referensi, kuliah lagi, dan rutin menganalisis laporan keuangan, saya merasa perlu meng-update beberapa hal terkait personal finance. Blog post kali ini sengaja ditulis dalam bahasa Indonesia untuk memudahkan orang awam memahami pentingnya literasi finansial.


    #1 - Audit cash flow keuangan pribadi kita
    Cara paling sederhana untuk meng-audit keuangan pribadi kita adalah dengan membuat personal cash flow statement, yang intinya kita catat semua pemasukan dan semua pengeluaran kita setiap bulan, mulai awal tahun ini. Lalu, kita hitung selisihnya, apakah surplus sehingga bisa kita tabung dan investasikan, atau malah defisit sehingga kita harus menguras tabungan atau berhutang.


    #2 - Tingkatkan active income dari pekerjaan utama
    Kalau kita bekerja di perusahaan orang lain, coba bekerja lebih keras dan pastikan kita menghasilkan value yang lebih tinggi untuk perusahaan. Kalau kita memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perusahaan, pengusaha yang baik akan menghargai kita sebelum perusahaan lain lebih menghargai kita. Be so good, so they can't ignore you.



    Kalau kita bekerja sendiri atau di perusahaan sendiri, coba bekerja lebih cerdas, pastikan growth dan profitability nya meningkat dari tahun ke tahun. Kalau keuntungan perusahaan meningkat secara konsisten, kita bisa memberikan kenaikan income bagi diri sendiri dan orang-orang kunci di perusahaan.



    #3 - Cari usaha sampingan (side gig)
    Kalau kita bekerja di perusahaan orang lain, coba cari pekerjaan sampingan yang terkait dengan hobi, tidak terkait dengan pekerjaan utama, bisa dilakukan di luar jam kerja utama, dan tidak menggunakan resource yang dberikan perusahaan di pekerjaaan utama kita. Buku-buku Chris Guillebeau, seperti "The $100 Startup" atau "100 Side Hustles", bisa jadi bacaan bermanfaat.



    Kalau kita bekerja sendiri atau di perusahaan sendiri, biasanya energi kita 24/7 untuk pekerjaan tersebut. Coba cari masalah-masalah lain yang bisa kita selesaikan dengan business unit baru. More problems, more business opportunities.



    #4 - Tingkatkan passive income dari hasil investasi
    Financial freedom (kebebasan finansial) itu bisa tercapai saat penghasilan kita bisa membiayai semua kebutuhan kita tanpa kita harus bekerja lagi. Hal ini hanya bisa dicapai kalau kita memiliki investasi yang konsisten memberikan imbal hasil di atas biaya hidup kita.



    Terkait cara memilih investasi di bisnis apa, saya banyak belajar dari Warren Buffet & Charlie Munger. Prinsipnya adalah pilih yang punya long-term value tinggi dan kita paham business model-nya, serta dikelola oleh orang-orang yang memiliki integritas, kecerdasan, pengalaman, dan dedikasi tinggi. Prinsip yang sama bisa diterapkan saat investasi di sektor riil.



    #5 - Atur pengeluaran dengan bijak
    Pengeluaran yang bijak itu sadar dan terencana, biasanya mencakup 5 kategori sbb:
    • Kebutuhan Primer (60%) – bayar utang, pajak, tempat tinggal, makan, komunikasi, kesehatan, pendidikan, transportasi, amal, dsb.
    • Dana Pensiun (10%) – iuran BPJS TK, DPLK, dsb.
    • Investasi (10%) – reksa dana, saham, surat utang, dsb.
    • Tabungan (10%) – dana darurat, liburan, hadiah, pernikahan, dsb.
    • Kebutuhan Sekunder (10%) – pakaian, hiburan, hobi, dsb.


    Salah satu trik untuk memastikan bahwa pengeluaran kita tidak melebih budget itu adalah dengan menerapkan sistem amplop anggaran. Jadi, setiap pos pengeluaran hanya bisa diambil dari satu amplop saja sesuai dengan nama posnya. Jika ada pengeluaran yang melebihi budget (dana di amplop tersebut sudah habis), terpaksa kita harus mengambil dana dari amplop lain. Dengan demikian, cara ini bisa menghindari kita dari kondisi defisit (pengeluaran > pemasukan).



    Selain itu coba audit juga setiap pos pengeluaran, apakah ada yang bisa dihilangkan atau dikurangi (baik itu downgrade, maupun negosiasi ulang).


    16 Lessons Learned from "ReWork"

    "ReWork" is one of the most influential business books I ever read. In fact it was the first business book that I read when I joined Suitmedia in 2011. Although I don't agree with some points of views from the authors, this book gave me a lot of very good insights that are still relevant until now. This article is a collection of my favourite ideas from the book.

    ReWork
    “What you do is what matters, not what you think or say or plan.” ― Jason Fried, Rework

    #1 - Learning from mistakes is overrated
    What do you really learn from mistakes? You might learn what not to do again, but how valuable is that? You still don’t know what you should do next. Contrast that with learning from your successes. Success gives you real ammunition. When something succeeds, you know what worked—and you can do it again. And the next time, you’ll probably do it even better.

    #2 - Scratch your own itch
    The easiest, most straightforward way to create a great product or service is to make something you want to use. That lets you design what you know—and you’ll figure out immediately whether or not what you’re making is any good.

    #3 - No time is no excuse
    When you want something bad enough, you make the time—regardless of your other obligations. The truth is most people just don’t want it bad enough. Then they protect their ego with the excuse of time. Don’t let yourself off the hook with excuses. It’s entirely your responsibility to make your dreams come true.

    #4 - Start a business, not a startup
    A business without a path to profit isn’t a business, it’s a hobby. Actual businesses have to deal with actual things like bills and payroll. Actual businesses worry about profit from day one. Actual businesses don’t mask deep problems by saying, “It’s OK, we’re a startup.” Act like an actual business and you’ll have a much better shot at succeeding.

    #5 - Building to flip is building to flop
    You need a commitment strategy, not an exit strategy. You should be thinking about how to make your project grow and succeed, not how you’re going to jump ship. If your whole strategy is based on leaving, chances are you won’t get far in the first place.

    Building a Small Business That Works

    "The E-Myth" is a classic business book, originally written in 1986 by Michael Gerber. This book is about why most small businesses don't work and what to do about it. The author updated this book in 2004 as "The E-Myth Revisited". I read this book few years ago when I felt frustrated at work due to balancing my role as entrepreneur, manager, and technician. This book helped me figure out that frustration is common among business owners and how to overcome it.

    My team at Suitmedia Jakarta

    This blog post is my collection of favourite paragraphs from Michael Gerber's "The E-Myth" as my personal reminder. I will also add some other videos – not from The E-Myth – but still relevant to this concept.



    The Entrepreneurial Myth
    The myth that most people who start small businesses are entrepreneurs, while there is a fatal assumption that an individual who understands the technical work of a business can successfully run a business that does that technical work. The fact is that most small business are run by Technicians and that technical work of a business and a business that does that technical work are two totally different things.



    The Entrepreneur, the Manager, and the Technician
    Everybody who goes into business is actually three-people-in-one: The Entrepreneur, The Manager, and The Technician.
    1. The Entrepreneur is our creative personality—always at its best dealing with the unknown, prodding the future, creating probabilities out of possibilities, engineering chaos into harmony.
    2. The managerial personality is pragmatic. Without The Manager there would be no planning, no order, no predictability.
    3. The Technician is the doer. “If you want it done right, do it yourself” is The Technician’s credo.