Showing posts with label Mental Model. Show all posts
Showing posts with label Mental Model. Show all posts

Cognitive Bias

Bias kognitif (cognitive bias) merupakan kesalahan sistematis dalam memproses dan memahami informasi yang diterima, sehingga mempengaruhi penilaian dan keputusan yang diambil.


Meskipun bias kognitif ini sering dianggap sama dengan kesalahan logika (logical fallacy), keduanya merupakan hal yang berbeda. Logical fallacy hanyalah salah satu gejala dari bias kognitif.


Logical fallacy disebabkan oleh ketidakmampuan berpikir secara logis atau menyampaikan argumentasi yang logis, sedangkan bias kognitif disebabkan oleh pengaruh emosi, pengaruh motivasi, tekanan sosial, atau bahkan keterbatasan otak dalam memproses informasi.


Source: VisualCapitalist


Dengan memahami bias kognitif kita bisa mengetahui mengapa seseorang atau sekelompok masyarakat berperilaku tertentu, sehingga kita akhirnya bisa membuat keputusan yang lebih baik atau bisa membuat kondisi supaya terjadi suatu perilaku yang kita inginkan (behavioral nudge).


Berikut ini beberapa jenis bias kognitif yang biasanya kita temukan sehari-hari:


#1 - Kita lebih memperhatikan hal-hal yang sudah ada di memori kita atau yang sering terulang.


Availability heuristic

Kecenderungan untuk melebih-lebihkan kemungkinan terjadinya hal-hal yang kita tahu (atau baca dari berita) dan meremehkan kemungkinan terjadinya hal-hal yang kita belum kita tahu (atau yang tidak pernah diberitakan).


Source: Verywell Mind


Attentional bias

Kecenderungan persepsi kita dipengaruhi oleh apa yang sering kita perhatikan. Contoh: Orang yang sering memikirkan baju apa yang mereka pakai akan lebih memberikan perhatian kepada baju apa yang dipakai oleh orang lain.


Illusory truth effect

Kecenderungan untuk lebih percaya hal yang familiar daripada yang tidak familiar terlepas apakah hal tersebut valid atau tidak.


Source: Dan Piraro


Cue-dependent forgetting

Kecenderungan untuk tidak bisa mengingat suatu hal tanpa adanya suatu petunjuk.


Mood-congruent memory bias

Daya ingat atas informasi menyesuaikan dengan suasana hati seseorang saat mengingatnya.


Source: John F. Kihlstrom


Frequency illusion / Baader-Meinhof phenomenon

Ilusi di mana sesuatu hal atau sebuah kata yang baru saja diperhatikan seolah-olah menjadi sering muncul setelahnya.


Source: Buzzfeed


Empathy gap

Kecenderungan untuk kesulitan memahami situasi mental orang lain yang berbeda situasi mental dengan kita saat ini. Contoh: seseorang yang tinggal di negara yang selalu damai akan kesulitan membayangkan perspektif dari seseorang yang tinggal di negara yang mengalami konflik atau perang.


Omission bias

Kecenderungan untuk menilai tindakan berbahaya sebagai hal yang lebih buruk atau kurang bermoral daripada kelalaian yang menimbulkan kerugian yang sama. Contoh: Kita cenderung menyalahkan seseorang yang mengalami kecelakaan saat menyetir dalam keadaan mabuk daripada menyalahkan temannya yang membiarkannya menyetir dalam keadaan mabuk, padahal kelalaian keduanya menimbulkan kerugian yang sama.


Base rate fallacy

Kecenderungan untuk terlalu fokus pada informasi yang spesifik dan mengabaikan informasi yang sifatnya lebih umum.


Source: The Decision Lab


#2 - Kita lebih mengingat hal-hal yang aneh, lucu, atau mencolok secara visual.


Bizareness effect

Hal-hal yang aneh biasanya lebih diingat daripada hal-hal yang umum.


Source: CramerSaatchi


Humor effect

Hal-hal yang lucu biasanya lebih diingat daripada hal-hal yang umum, karena kekhasan humor, kecepatan kognitif untuk memahami humor, atau gairah emosional yang disebabkan oleh humor tersebut.


Von Restorff effect / Isolation effect

Kecenderungan untuk lebih mudah mengingat hal-hal yang paling berbeda dibandingkan yang lain.


Source: UX Knowledge Base Sketch


Picture superiority effect

Kecenderungan untuk lebih mudah mengingat konsep yang dipelajari dengan cara melihat gambar daripada melihat kata-kata yang ditulis oleh orang lain.


Source: Dorotea Kovačević


Negativity bias

Kecenderungan untuk lebih mengingat pengalaman yang negatif daripada mengingat pengalaman yang positif.


Source: The Science Dog

Think Like a Freak

Morality, it could be argued, represents the way that people would like the world to work — whereas economics represents how it actually does work.

The first book of Freakonomics series

Incentives are the cornerstone of modern life. And understanding them — or, often, ferreting them out — is the key to solving just about any riddle, from violent crime to sports cheating to online dating.

We all learn to respond to incentives, negative and positive, from the outset of life. An incentive is simply a means of urging people to do more of a good thing and less of a bad thing. But most incentives don’t come about organically. Someone — an economist or a politician or a parent — has to invent them.

There are three basic flavors of incentive: economic, social, and moral.  Very often a single incentive scheme will include all three varieties. Think about the anti-smoking campaign of recent years. The addition of a $3-per-pack “sin tax” is a strong economic incentive against buying cigarettes. The banning of cigarettes in restaurants and bars is a powerful social incentive. And when the U.S. government asserts that terrorists raise money by selling black-market cigarettes, that acts as a rather jarring moral incentive.

Whatever the incentive, whatever the situation, dishonest people will try to gain an advantage by whatever means necessary. For every incentive has its dark side. A thing worth having is a thing worth cheating for. For every clever person who goes to the trouble of creating an incentive scheme, there is an army of people, clever and otherwise, who will inevitably spend even more time trying to beat it.

Mimi and Eunice : Incentive to Create

The conventional wisdom is often wrong.  Crime didn’t keep soaring in the 1990s, money alone doesn’t win elections, and — surprise — drinking eight glasses of water a day has never actually been shown to do a thing for your health. Conventional wisdom is often shoddily formed and devilishly difficult to see through, but it can be done.

Kesalahan Logika

Kesalahan logika, atau yang sering disebut juga logical fallacy, merupakan cacat atau sesat penalaran, yang tidak hanya sering (secara tak sengaja) digunakan oleh orang-orang yang kemampuan penalarannya terbatas, tetapi juga sering (secara sengaja) digunakan oleh orang-orang tertentu, termasuk media, untuk mempengaruhi orang lain.

Berikut ini beberapa contoh logical fallacy yang mungkin tidak asing bagi kita. Semoga kita tidak terjebak propaganda, atau malah melakukan kesalahan penalaran, baik sengaja maupun tidak sengaja.

thou shalt not commit logical fallacies – © yourlogicalfallacyis.com

strawman
Melebih-lebihkan, menyalahartikan atau bahkan memalsukan argumen seseorang, demi membuat argumen Anda yang menyerangnya terdengar lebih masuk akal.

Contoh: Jocovic berargumen bahwa berdasarkan pengamatannya di lapangan, nelayan dan petani tidak senang dengan koperasi karena yang mendapatkan modal hanya pengurusnya saja, sehingga hal ini perlu diperbaiki. Mendengar hal tersebut, lawan politik Jocovic menyatakan bahwa Jocovic menolak koperasi; koperasi tidak diperlukan di desa.

Dilbert 2010-05-30

Prinsip 90/10

Dr. Stephen Covey mengatakan, "10% dari hidup adalah apa yang terjadi pada Anda. 90% dari hidup adalah bagaimana Anda bereaksi." Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar hidup kita ditentukan oleh cara kita merespons terhadap situasi yang terjadi.


Photo by Skylar Michael


Kita seringkali tidak dapat mengendalikan apa yang terjadi dalam hidup kita, baik itu hal yang baik maupun yang buruk. Kita bisa saja tiba-tiba mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan, yang di luar kendali kita. Contohnya, kemacetan lalu lintas karena truk mogok, penundaan penerbangan yang mengganggu jadwal perjalanan, atau kebijakan perusahaan yang tidak sesuai harapan. Untuk sebagian besar kasus, hal-hal ini — yang mempengaruhi 10% dari hidup kita — memang di luar kendali kita.


Namun, 90% dari hidup kita sebenarnya ditentukan oleh bagaimana kita bereaksi terhadap situasi tersebut. Kita mungkin tidak bisa mengontrol apa yang terjadi, tetapi kita bisa mengendalikan reaksi kita terhadapnya.

Start With Why

People don't buy what you do; people buy why you do it.

Dalam sebuah TED Talk, Simon Sinek mempresentasikan ide sederhananya, bahwa untuk menghasilkan dampak yang besar, segala sesuatu itu harus dimulai dari "mengapa". Ide ini ia modelkan dalam sebuah golden circle: Why - How - What.

Golden Circle: Why - How - What

Kebanyakan dari kita bertindak, dari luar (what, how) ke dalam (why). Hal ini membuat kita berfokus pada hasil atau proses saja, tanpa mempedulikan alasan mengapa kita mengerjakan sesuatu. Adapun kita bisa bertindak dengan arah sebaliknya, dari dalam (why) ke luar (how, what). Pikirkan dulu mengapa kita perlu mengerjakan sesuatu, baru kemudian fokus tentang bagaimana proses dan hasilnya.