Menuju New Normal: Reaction, Resilience, Recovery

Tahun ini hampir seluruh negara di dunia mengalami permasalahan yang sama, yaitu pandemi COVID-19, yang akhirnya menyebabkan perlambatan ekonomi.


Berdasarkan dampaknya terhadap kesehatan publik dan perekonomian, secara garis besar saya membagi masa pandemi ini menjadi tiga fase, yaitu 3R: Reaction, Resilience, dan Recovery.

Fase #1: Reaction – Awal krisis kesehatan

WHO menyatakan terjadi outbreak COVID-19 di bulan Januari dan kemudian meningkatkan statusnya menjadi pandemi pada tanggal 11 Maret. Perusahaan-perusahaan di Indonesia yang harus impor bahan baku atau bahan jadi dari China pun mulai mengalami permasalahan supply chain karena China sudah mengalami outbreak terlebih dahulu sejak Desember tahun lalu dan bahkan harus melakukan lockdown salah satu kota terpadatnya selama lebih dari 2 bulan.


Lalu, saat negara-negara besar lainnya, seperti US, mulai mengalami pandemi COVID-19, perusahaan-perusahaan Indonesia yang mengandalkan ekspor ke pasar negara-negara tersebut pun mulai mengalami permasalahan penurunan demand secara signifikan.


Di Indonesia, BNPB sudah menyatakan status darurat bencana sejak 29 Februari dan disusul konfirmasi kasus pertama pada awal Maret. Pemprov DKI Jakarta pun akhirnya menerbitkan surat edaran untuk melakukan social distancing, antara lain dengan meliburkan anak sekolah (belajar dari rumah) dan menganjurkan semua warganya yang mampu untuk bekerja dari rumah.

Hal ini secara perlahan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, mulai sektor informal dan UMKM sampai ke sektor lainnya. Bahkan ada beberapa perusahaan besar mulai menahan belanja investasinya sejak bulan Maret.

Sumber: Avasant (2020)

Fase #2: Resilience – Perlambatan ekonomi

Mulai bulan April, dampak kesehatan dari pandemi COVID-19 mulai semakin terdengar di seluruh segmen masyarakat. Jumlah korban yang meninggal dunia terus meningkat. Pemerintah pun akhirnya menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sambil terus melakukan tes massal dan penelusuran kontak.

Sumber: Board of Innovation (2020)

Di sisi lain, dampak ekonomi dari pandemi mulai terasa, terutama di industri yang melibatkan interaksi antar manusia yang tinggi, mengharuskan konsumen melakukan perjalanan, atau merupakan kebutuhan sekunder/tersier yang bisa ditunda atau dihilangkan.

Banyak perusahaan di industri tersebut akhirnya tidak bisa beroperasi dan terpaksa merumahkan (furlough atau unpaid leave) pekerjanya. Hanya sebagian kecil yang bisa melakukan inovasi model bisnisnya. Bisa dipastikan perekonomian kita tumbuh negatif di Q2 tahun ini.


Sampai tulisan ini dibuat, Indonesia masih di fase ini, tanpa ada kejelasan kapan krisis kesehatan dan perlambatan ekonomi akan benar-benar selesai. Bagi yang optimistis, fase ini hanya disebut sebagai perlambatan ekonomi (economic slowdown) saja karena diharapkan bisa selesai paling lambat di Q3 tahun ini. Sementara itu bagi yang pesimistis, fase ini disebut sebagai resesi ekonomi, karena diprediksi akan terjadi pertumbuhan negatif selama lebih dari 2 kuartal, dan pemulihan ekonomi akan pulih paling cepat pertengahan tahun depan.


Fase #3: Recovery – Pemulihan ekonomi

Hanya ada dua cara supaya krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19 ini berakhir, yaitu penghentian penyebaran atau kekebalan komunitas.

Cara pertama, penghentian penyebaran virus 2019-nCov hanya bisa terjadi jika dilakukan kombinasi dari pembatasan sosial, tes massal, dan penelusuran kontak. Namun, sayang sekali ketiga hal ini susah sekali dilakukan di Indonesia. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak ditegakkan secara tegas, tidak ada sanksi pidana atau denda. Tes massal pun dilakukan dalam jumlah yang relatif sangat sedikit jika dibandingkan jumlah penduduk yang berpotensi terpapar virus. Penelusuran kontak pun susah untuk akurat jika tidak ada pembatasan jarak fisik di ruang publik.

Cara kedua, kekebalan komunitas, hanya bisa terjadi jika sudah ada vaksin atau sebagian besar penduduk sudah terpapar virus dan sembuh sendiri. Vaksin COVID-19 masih dalam tahap pengujian dan belum tau kapan bisa diproduksi massal dan disuntikkan ke sebagian besar penduduk, mungkin tahun depan. Mau tidak mau, kita hanya memiliki satu opsi terakhir, yaitu membiarkan sebagian besar penduduk terpapar virus dan berharap semuanya sembuh sendiri. Lalu, untuk meminimalisir jumlah korban, pemerintah akan memberikan petunjuk pola hidup baru – yang semoga saja bisa diterapkan dan ditegakkan secara serius – serta tetap melakukan pembatasan sosial pada segmen masyarakat yang relatif lemah terhadap virus ini.

Sumber: Tempo (2020)

Untuk meminimalisir dampak ekonomi akibat pandemi, rencananya pemerintah akan melakukan relaksasi PSBB mulai dari awal Juni dan dilaksanakan secara berangsur sampai dengan akhir Juli. Bagi golongan yang optimistis, termasuk saya, rencana pemerintah ini seharusnya bisa memulihkan kondisi perekonomian nasional, paling lambat di bulan September, akhir Q3. Amin!


Secara makroekonomi, ada beberapa alternatif hasil pemulihan yang mungkin terjadi, antara lain: V-shape, W-shape, U-shape, dan L-shape. Masing-masing alternatif tersebut menggambarkan bentuk kurva grafik pertumbuhan ekonomi saat terjadi pemulihan ekonomi.
  • V-shape : Ada penurunan tajam, tapi pemulihannya cepat, biasanya berkisar antara 3-6 bulan. Ini merupakan alternatif terbaik yang ada. Contohnya: manufaktur pasca lockdown di Wuhan.
  • W-shape: Variasi dari V-shape, ada penurunan tajam, lalu pulih cepat untuk sesaat, tapi turun lagi, dan akhirnya benar-benar pulih. Jumlah ups and downs bisa saja terjadi lebih dari dua kali.
    • U-shape : Ada penurunan secara perlahan untuk jangka waktu yang cukup panjang, lalu pemulihannya pun membutuhkan waktu yang setidaknya sama panjang dengan waktu penurunannya, biasanya berkisar antara 1-2 tahun. Contohnya: krisis Amerika 2008, krisis Indonesia 1997.
    • L-shape : Terjadi depresi ekonomi atau resesi yang butuh waktu sangat lama untuk pemulihannya, bisa berkisar antara 3-10 tahun. Contohnya: krisis Yunani 2008, lost decade Jepang 1990-an, great depression Amerika 1920-an.