This year is not that good for almost everyone. Many people lost their loved
ones due to health situation. Many people also lost their jobs due to economic
crisis.
Year 2020 showed us what essentials in our life and why we should be grateful.
If we are still alive and have good relationship with our loved ones, these
are more than enough to be thankful.
This blog post is an
annual review
of what happened in my life in 2020, what went well and what didn't go well,
so I can learn something from the past year experiences.
Suitmedia Goes to Bali (2020)
January
I spent end-year vacation in Bali to attend my friend's wedding, returned to
Jakarta on January 1st, and was greeted a flood. Our flight couldn't land at
HLP and had to land at CGK airport. 😅
On February 10, we had a blessing to have a company retreat in Bali. We stayed
in Bali for 3 days and some people extended their holidays. I feel really
grateful for working with my current teammates.
On February 19, I joined
Kelas Inspirasi Bandung
and this time I took role as teaching volunteer after three years of being
facilitator. This volunteering event was also the only Kelas Inspirasi that I
involved in 2020 because there is no direct interaction in school during
pandemics.
Seminggu yang lalu, 21 November 2020, adalah pertama kalinya saya bersepeda >
100 km, dari Jakarta ke Bogor dan langsung balik ke Jakarta lagi.
Ini merupakan salah satu pengalaman paling seru selama saya bersepeda, karena
jarak tempuh terjauh saya sebelumnya hanya sekitar 60 km. Selain itu, ini juga
merupakan
Gran Fondo pertama saya
di
Strava.
Tulisan ini merangkum apa saja riset, persiapan, dan pengalaman yang saya alami
untuk solo ride ini. Semoga bermanfaat dan tetap jaga kesehatan! :)
My first Gran Fondo: Pejaten - Kebun Raya (round trip)
Research
Ada tiga hal yang saya cari tahu secara detail sebelum gowes > 100 km, yaitu:
track (jalur perjalanan), pit stop (untuk istirahat pendek), dan cafe (untuk
istirahat panjang dan ngopi-ngopi setelah sampai di tujuan).
Untuk jalur perjalanan, ada tiga alternatif jalur sepeda dari Jakarta ke Bogor,
yaitu: via
Jl. Raya Bogor (44.6 km),
via
Margonda - Citayam
(44.6 km), atau via
Parung (54.2 km). Informasi
jarak tempuh yang saya tulis di sini adalah jarak dari
kantor saya di Pejaten Barat (Jakarta
Selatan) menuju Kebun Raya Bogor, satu arah perjalanan.
Dari ketiga alternatif jalur tersebut, saya cek kondisi jalanannya melalui
Google Street View
untuk memilih jalur mana yang aspalnya bagus dan relatif datar. Pada akhirnya
saya memilih jalur via Jl. Raya Bogor karena itu yang paling familiar bagi saya
dan ada banyak tukang ban di sepanjang jalan.
Bersedekah merupakan salah satu nilai kemanusiaan yang memiliki sifat
universal. Semua agama mengajarkan tentang pentingnya bersedekah atau memberi
kepada orang-orang yang kurang mampu.
Tulisan ini merangkum berbagai referensi yang saya pelajari tentang bersedekah
menurut beberapa ajaran agama. Semoga tulisan ini dapat memberikan inspirasi
bagi diri sendiri dan pembaca untuk lebih banyak bersedekah di masa-masa
seperti sekarang.
Dalam agama Judaism, konsep sedekah dikenal dengan istilah "Tzedakah" (צדקה),
yang secara harfiah berarti "kebenaran" dalam bahasa Ibrani. Tzedakah dianggap
sebagai kewajiban dalam ajaran Judaism, di mana sebesar
10% penghasilan bersih
harus diberikan kepada orang-orang miskin, termasuk anak yatim, janda miskin,
dan orang yang tidak dikenal.
Bias kognitif (cognitive bias) merupakan kesalahan sistematis dalam
memproses dan memahami informasi yang diterima, sehingga mempengaruhi
penilaian dan keputusan yang diambil.
Meskipun bias kognitif ini sering dianggap sama dengan
kesalahan logika
(logical fallacy), keduanya merupakan hal yang berbeda.
Logical fallacy hanyalah salah satu gejala dari bias kognitif.
Logical fallacy disebabkan oleh ketidakmampuan berpikir secara logis
atau menyampaikan argumentasi yang logis, sedangkan bias kognitif disebabkan
oleh pengaruh emosi, pengaruh motivasi, tekanan sosial, atau bahkan
keterbatasan otak dalam memproses informasi.
Dengan memahami bias kognitif kita bisa mengetahui mengapa seseorang atau
sekelompok masyarakat berperilaku tertentu, sehingga kita akhirnya bisa
membuat keputusan yang lebih baik atau bisa membuat kondisi supaya terjadi
suatu perilaku yang kita inginkan (behavioral nudge).
Berikut ini beberapa jenis bias kognitif yang biasanya kita temukan
sehari-hari:
#1 - Kita lebih memperhatikan hal-hal yang sudah ada di memori kita atau yang
sering terulang.
Availability heuristic
Kecenderungan untuk melebih-lebihkan kemungkinan terjadinya hal-hal yang kita
tahu (atau baca dari berita) dan meremehkan kemungkinan terjadinya hal-hal
yang kita belum kita tahu (atau yang tidak pernah diberitakan).
Kecenderungan persepsi kita dipengaruhi oleh apa yang sering kita perhatikan.
Contoh: Orang yang sering memikirkan baju apa yang mereka pakai akan lebih
memberikan perhatian kepada baju apa yang dipakai oleh orang lain.
Illusory truth effect
Kecenderungan untuk lebih percaya hal yang familiar daripada yang tidak
familiar terlepas apakah hal tersebut valid atau tidak.
Kecenderungan untuk kesulitan memahami situasi mental orang lain yang berbeda
situasi mental dengan kita saat ini. Contoh: seseorang yang tinggal di negara
yang selalu damai akan kesulitan membayangkan perspektif dari seseorang yang
tinggal di negara yang mengalami konflik atau perang.
Omission bias
Kecenderungan untuk menilai tindakan berbahaya sebagai hal yang lebih buruk
atau kurang bermoral daripada kelalaian yang menimbulkan kerugian yang sama.
Contoh: Kita cenderung menyalahkan seseorang yang mengalami kecelakaan saat
menyetir dalam keadaan mabuk daripada menyalahkan temannya yang membiarkannya
menyetir dalam keadaan mabuk, padahal kelalaian keduanya menimbulkan kerugian
yang sama.
Base rate fallacy
Kecenderungan untuk terlalu fokus pada informasi yang spesifik dan mengabaikan
informasi yang sifatnya lebih umum.
Hal-hal yang lucu biasanya lebih diingat daripada hal-hal yang umum, karena
kekhasan humor, kecepatan kognitif untuk memahami humor, atau gairah emosional
yang disebabkan oleh humor tersebut.
Von Restorff effect / Isolation effect
Kecenderungan untuk lebih mudah mengingat hal-hal yang paling berbeda
dibandingkan yang lain.
"The 4-Hour Workweek" is the first Tim Ferriss' books that I read three years
ago. This book has some good insights which I agree and some I disagree.
Actually there are even more insights from Tim's other books such as "Tools of
Titans" and "Tribe of Mentors". But here are some lessons I learned from T4HWW.
Chilling at Nusa Dua, Bali (March 2017)
#1 - Different is better when it is more effective or more fun.
If everyone is defining a problem or solving it one way and the results are
subpar, this is the time to ask, What if I did the opposite? Don’t follow a
model that doesn’t work. If the recipe sucks, it doesn’t matter how good a
cook you are.
#2 - What you do is infinitely more important than how you do it.
Effectiveness is doing the things that get you closer to your goals.
Efficiency is performing a given task (whether important or not) in the most
economical manner possible. Doing something unimportant well does not make it
important. Requiring a lot of time does not make a task important. Efficiency
is still important, but it is useless unless applied to the right things.
#3 - Focus on being productive instead of busy.
Doing less meaningless work, so that you can focus on things of greater
personal importance, is NOT laziness. Being busy is a form of laziness—lazy
thinking and indiscriminate action. Being overwhelmed is often as unproductive
as doing nothing, and is far more unpleasant. Being selective—doing less—is
the path of the productive. Focus on the important few and ignore the rest.
It’s easy to get caught in a flood of minutiae, and the key to not feeling
rushed is remembering that lack of time is actually lack of priorities.
Resesi artinya kelesuan kegiatan ekonomi, yang secara teknis ditandai dengan
penurunan
produk domestik bruto
selama dua triwulan berturut-turut.
Perekonomian kita sebenarnya perlahan mulai pulih di triwulan ketiga ini. Di
triwulan kedua yang lalu kita mengalami
perlambatan ekonomi, di mana produk domestik bruto kita turun 5,32%. Di triwulan ketiga, saya
melihat banyak bisnis mulai bangkit, meskipun belum sepenuhnya pulih.
Namun, selama akar permasalahan krisis ekonomi yang kita alami – yaitu krisis
kesehatan akibat pandemi – belum diselesaikan, maka krisis ini belum akan
berkesudahan. Ditambah lagi dengan ketidakcakapan pemerintah pusat dan pemprov
DKI Jakarta dalam penegakan protokol kesehatan, PSBB terpaksa kembali
dilaksanakan, dan hal ini pasti berdampak pada perekonomian kita.
Saya mencoba menggambarkan apa yang perlu kita lakukan saat ini (sebagai
individu) supaya kita bisa lebih tahan resesi.
Tujuh puluh lima tahun yang lalu Soekarno, Hatta, dan para pejuang lainnya
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dengan adanya proklamasi tersebut
berarti bangsa Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa yang bebas, melepaskan
diri dari penjajahan. Para pejuang kemerdekaan menyatakan untuk berdaulat atas
bangsa kita sendiri, mau membangun negara ini, tanpa campur tangan negara
lain. Kita bersama-sama bertekad untuk membawa Indonesia maju, menjadi bangsa
yang lebih baik daripada sebelumnya saat masih dijajah oleh bangsa lain.
Tahun ini acara 17-an di kantor cukup unik. Karena kita masih disarankan untuk
bekerja dari rumah, jadi semua acarapun diadakan secara virtual, termasuk
upacara bendera virtual. Tahun ini pula saya kali pertama diminta untuk
membawakan amanat pembina upacara. Saya jadi merenungi sebenarnya apa makna
kemerdekaan yang sesuai dengan konteks yang kita alami saat ini.
Tahun ini hampir seluruh negara di dunia mengalami permasalahan yang sama,
yaitu pandemi COVID-19, yang akhirnya menyebabkan perlambatan ekonomi.
Berdasarkan dampaknya terhadap kesehatan publik dan perekonomian, secara garis
besar saya membagi masa pandemi ini menjadi tiga fase, yaitu 3R:
Reaction, Resilience, dan Recovery.
Fase #1: Reaction – Awal krisis kesehatan
WHO menyatakan terjadi outbreak COVID-19 di bulan Januari dan kemudian
meningkatkan statusnya menjadi pandemi pada tanggal 11 Maret.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia yang harus impor bahan baku atau bahan jadi
dari China pun mulai mengalami permasalahan supply chain karena China
sudah mengalami outbreak terlebih dahulu sejak Desember tahun lalu dan
bahkan harus melakukan lockdown salah satu kota terpadatnya selama
lebih dari 2 bulan.
Lalu, saat negara-negara besar lainnya, seperti US, mulai mengalami pandemi
COVID-19, perusahaan-perusahaan Indonesia yang mengandalkan ekspor ke pasar
negara-negara tersebut pun mulai mengalami permasalahan penurunan
demand secara signifikan.
Di Indonesia, BNPB sudah menyatakan status darurat bencana sejak 29 Februari
dan disusul konfirmasi kasus pertama pada awal Maret. Pemprov DKI Jakarta pun
akhirnya menerbitkan surat edaran untuk melakukan
social distancing, antara lain dengan meliburkan anak sekolah (belajar
dari rumah) dan menganjurkan semua warganya yang mampu untuk bekerja dari
rumah.
Hal ini secara perlahan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, mulai sektor
informal dan UMKM sampai ke sektor lainnya. Bahkan ada beberapa perusahaan
besar mulai menahan belanja investasinya sejak bulan Maret.
Mulai bulan April, dampak kesehatan dari pandemi COVID-19 mulai semakin
terdengar di seluruh segmen masyarakat. Jumlah korban yang meninggal dunia
terus meningkat. Pemerintah pun akhirnya menerapkan pembatasan sosial berskala
besar (PSBB), sambil terus melakukan tes massal dan penelusuran kontak.
Di sisi lain, dampak ekonomi dari pandemi mulai terasa, terutama di industri
yang melibatkan interaksi antar manusia yang tinggi, mengharuskan konsumen
melakukan perjalanan, atau merupakan kebutuhan sekunder/tersier yang bisa
ditunda atau dihilangkan.
Banyak perusahaan di industri tersebut akhirnya tidak bisa beroperasi dan
terpaksa merumahkan (furlough atau unpaid leave) pekerjanya.
Hanya sebagian kecil yang bisa melakukan inovasi model bisnisnya. Bisa
dipastikan perekonomian kita tumbuh negatif di Q2 tahun ini.
Rutinitas hari-hari ini: Bolak-balik mengurai darurat ekonomi dan darurat
kesehatan.
pic.twitter.com/PDSUIUr7ex
Sampai tulisan ini dibuat, Indonesia masih di fase ini, tanpa ada kejelasan
kapan krisis kesehatan dan perlambatan ekonomi akan benar-benar selesai. Bagi
yang optimistis, fase ini hanya disebut sebagai perlambatan ekonomi (economic slowdown) saja karena diharapkan bisa selesai paling lambat di Q3 tahun ini.
Sementara itu bagi yang pesimistis, fase ini disebut sebagai resesi ekonomi,
karena diprediksi akan terjadi pertumbuhan negatif selama lebih dari 2
kuartal, dan pemulihan ekonomi akan pulih paling cepat pertengahan tahun
depan.
Fase #3: Recovery – Pemulihan ekonomi
Hanya ada dua cara supaya krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19 ini
berakhir, yaitu penghentian penyebaran atau kekebalan komunitas.
Cara pertama, penghentian penyebaran virus 2019-nCov hanya bisa terjadi jika
dilakukan kombinasi dari pembatasan sosial, tes massal, dan penelusuran
kontak. Namun, sayang sekali ketiga hal ini susah sekali dilakukan di
Indonesia. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak ditegakkan
secara tegas, tidak ada sanksi pidana atau denda. Tes massal pun dilakukan
dalam jumlah yang relatif sangat sedikit jika dibandingkan jumlah penduduk
yang berpotensi terpapar virus. Penelusuran kontak pun susah untuk akurat jika
tidak ada pembatasan jarak fisik di ruang publik.
Cara kedua, kekebalan komunitas, hanya bisa terjadi jika sudah ada vaksin atau
sebagian besar penduduk sudah terpapar virus dan sembuh sendiri. Vaksin
COVID-19 masih dalam tahap pengujian dan belum tau kapan bisa diproduksi
massal dan disuntikkan ke sebagian besar penduduk, mungkin tahun depan. Mau
tidak mau, kita hanya memiliki satu opsi terakhir, yaitu membiarkan sebagian
besar penduduk terpapar virus dan berharap semuanya sembuh sendiri. Lalu,
untuk meminimalisir jumlah korban, pemerintah akan memberikan petunjuk pola
hidup baru – yang semoga saja bisa diterapkan dan ditegakkan secara serius –
serta tetap melakukan pembatasan sosial pada segmen masyarakat yang relatif
lemah terhadap virus ini.
Untuk meminimalisir dampak ekonomi akibat pandemi, rencananya pemerintah
akan melakukan relaksasi PSBB mulai dari awal Juni dan dilaksanakan secara
berangsur sampai dengan akhir Juli. Bagi golongan yang optimistis, termasuk
saya, rencana pemerintah ini seharusnya bisa memulihkan kondisi perekonomian
nasional, paling lambat di bulan September, akhir Q3. Amin!
Secara makroekonomi, ada beberapa alternatif hasil pemulihan yang mungkin
terjadi, antara lain: V-shape, W-shape, U-shape, dan
L-shape. Masing-masing alternatif tersebut menggambarkan bentuk kurva
grafik pertumbuhan ekonomi saat terjadi pemulihan ekonomi.
V-shape : Ada penurunan tajam, tapi pemulihannya cepat,
biasanya berkisar antara 3-6 bulan. Ini merupakan alternatif terbaik yang
ada. Contohnya: manufaktur pasca lockdown di Wuhan.
W-shape: Variasi dari V-shape, ada penurunan tajam,
lalu pulih cepat untuk sesaat, tapi turun lagi, dan akhirnya benar-benar
pulih. Jumlah ups and downs bisa saja terjadi lebih dari dua kali.
U-shape : Ada penurunan secara perlahan untuk jangka waktu
yang cukup panjang, lalu pemulihannya pun membutuhkan waktu yang
setidaknya sama panjang dengan waktu penurunannya, biasanya berkisar
antara 1-2 tahun. Contohnya: krisis Amerika 2008, krisis Indonesia 1997.
L-shape : Terjadi depresi ekonomi atau resesi yang butuh
waktu sangat lama untuk pemulihannya, bisa berkisar antara 3-10 tahun.
Contohnya: krisis Yunani 2008, lost decade Jepang 1990-an,
great depression Amerika 1920-an.
Beberapa hari yang lalu saya membaca kembali tulisan lama saya di blog, yaitu
tentang cara
mencatat keuangan pribadi. Tulisan tersebut ditulis 8 tahun yang lalu, saat saya mulai belajar mengatur
keuangan pribadi, mencatat semua pengeluaran sehari-hari, serta mulai investasi
saham dan
reksa dana.
Saat itu saya belum belajar keuangan secara formal. Semuanya saya pelajari
secara otodidak, mulai dari baca buku
Intelligent Investor
dan literatur finance lainnya, belajar saham dari forum Kaskus dan berbagai
mailing list, sampai ambil cuti untuk ikut
sekolah pasar modal
di BEI tahun 2010.
Setelah baca lebih banyak referensi,
kuliah lagi, dan rutin menganalisis laporan keuangan, saya merasa perlu meng-update
beberapa hal terkait personal finance. Blog post kali ini sengaja ditulis dalam
bahasa Indonesia untuk memudahkan orang awam memahami pentingnya literasi
finansial.
#1 - Audit cash flow keuangan pribadi kita
Cara paling sederhana untuk meng-audit keuangan pribadi kita adalah dengan
membuat personal cash flow statement, yang intinya kita catat semua
pemasukan dan semua pengeluaran kita setiap bulan, mulai awal tahun ini. Lalu,
kita hitung selisihnya, apakah surplus sehingga bisa kita tabung dan
investasikan, atau malah defisit sehingga kita harus menguras tabungan atau
berhutang.
#2 - Tingkatkan active income dari pekerjaan utama
Kalau kita bekerja di perusahaan orang lain, coba bekerja lebih keras dan
pastikan kita menghasilkan value yang lebih tinggi untuk perusahaan. Kalau kita
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perusahaan, pengusaha yang baik
akan menghargai kita sebelum perusahaan lain lebih menghargai kita.
Be so good, so they can't ignore you.
Kalau kita bekerja sendiri atau di perusahaan sendiri, coba bekerja lebih
cerdas, pastikan
growth dan profitability
nya meningkat dari tahun ke tahun. Kalau keuntungan perusahaan meningkat secara
konsisten, kita bisa memberikan kenaikan income bagi diri sendiri dan
orang-orang kunci di perusahaan.
#3 - Cari usaha sampingan (side gig)
Kalau kita bekerja di perusahaan orang lain, coba cari pekerjaan sampingan yang
terkait dengan hobi, tidak terkait dengan pekerjaan utama, bisa dilakukan di
luar jam kerja utama, dan tidak menggunakan resource yang dberikan perusahaan di
pekerjaaan utama kita. Buku-buku
Chris Guillebeau, seperti "The $100 Startup" atau "100 Side Hustles", bisa jadi bacaan bermanfaat.
Kalau kita bekerja sendiri atau di perusahaan sendiri, biasanya energi kita 24/7
untuk pekerjaan tersebut. Coba cari masalah-masalah lain yang bisa kita
selesaikan dengan business unit baru. More problems, more business
opportunities.
#4 - Tingkatkan passive income dari hasil investasi
Financial freedom (kebebasan finansial) itu bisa tercapai saat penghasilan kita
bisa membiayai semua kebutuhan kita tanpa kita harus bekerja lagi. Hal ini hanya
bisa dicapai kalau kita memiliki investasi yang konsisten memberikan imbal hasil
di atas biaya hidup kita.
Terkait cara memilih investasi di bisnis apa, saya banyak belajar dari Warren
Buffet & Charlie Munger. Prinsipnya adalah pilih yang punya long-term value
tinggi dan kita paham business model-nya, serta dikelola oleh orang-orang yang
memiliki integritas, kecerdasan, pengalaman, dan dedikasi tinggi. Prinsip yang
sama bisa diterapkan saat investasi di sektor riil.
#5 - Atur pengeluaran dengan bijak
Pengeluaran yang bijak itu sadar dan terencana, biasanya mencakup 5 kategori
sbb:
Kebutuhan Primer (60%) – bayar utang, pajak, tempat tinggal, makan,
komunikasi, kesehatan, pendidikan, transportasi, amal, dsb.
Dana Pensiun (10%) – iuran BPJS TK, DPLK, dsb.
Investasi (10%) – reksa dana, saham, surat utang, dsb.
Tabungan (10%) – dana darurat, liburan, hadiah, pernikahan, dsb.
Salah satu trik untuk memastikan bahwa pengeluaran kita tidak melebih budget itu
adalah dengan menerapkan sistem amplop anggaran. Jadi, setiap pos pengeluaran
hanya bisa diambil dari satu amplop saja sesuai dengan nama posnya. Jika ada
pengeluaran yang melebihi budget (dana di amplop tersebut sudah habis), terpaksa
kita harus mengambil dana dari amplop lain. Dengan demikian, cara ini bisa
menghindari kita dari kondisi defisit (pengeluaran > pemasukan).
Selain itu coba audit juga setiap pos pengeluaran, apakah ada yang bisa
dihilangkan atau dikurangi (baik itu downgrade, maupun negosiasi ulang).
"ReWork" is one of the most influential business books I ever read. In fact it
was the first business book that I read when I joined Suitmedia in 2011.
Although I don't agree with some points of views from the authors, this book
gave me a lot of very good insights that are still relevant until now. This
article is a collection of my favourite ideas from the book.
“What you do is what matters, not what you think or say or plan.” ―
Jason Fried, Rework
#1 - Learning from mistakes is overrated
What do you really learn from mistakes? You might learn what not to do again,
but how valuable is that? You still don’t know what you should do next. Contrast
that with learning from your successes. Success gives you real ammunition. When
something succeeds, you know what worked—and you can do it again. And the next
time, you’ll probably do it even better.
#2 - Scratch your own itch
The easiest, most straightforward way to create a great product or service is to
make something you want to use. That lets you design what you know—and you’ll
figure out immediately whether or not what you’re making is any good.
#3 - No time is no excuse
When you want something bad enough, you make the time—regardless of your other
obligations. The truth is most people just don’t want it bad enough. Then they
protect their ego with the excuse of time. Don’t let yourself off the hook with
excuses. It’s entirely your responsibility to make your dreams come true.
#4 - Start a business, not a startup
A business without a path to profit isn’t a business, it’s a hobby. Actual
businesses have to deal with actual things like bills and payroll. Actual
businesses worry about profit from day one. Actual businesses don’t mask deep
problems by saying, “It’s OK, we’re a startup.” Act like an actual business and
you’ll have a much better shot at succeeding.
#5 - Building to flip is building to flop
You need a commitment strategy, not an exit strategy. You should be thinking
about how to make your project grow and succeed, not how you’re going to jump
ship. If your whole strategy is based on leaving, chances are you won’t get far
in the first place.
"The E-Myth" is a classic business book, originally written in 1986 by Michael
Gerber. This book is about why most small businesses don't work and what to
do about it. The author updated this book in 2004 as "The E-Myth Revisited". I read this book few years ago when I felt frustrated at work due to
balancing my role as entrepreneur, manager, and technician. This book helped me
figure out that frustration is common among business owners and how to overcome
it.
My team at Suitmedia Jakarta
This blog post is my collection of favourite paragraphs from Michael Gerber's
"The E-Myth" as my personal reminder. I will also add some other videos – not
from The E-Myth – but still relevant to this concept.
The Entrepreneurial Myth
The myth that most people who start small businesses are entrepreneurs, while
there is a fatal assumption that an individual who understands the technical
work of a business can successfully run a business that does that technical
work. The fact is that most small business are run by Technicians and that
technical work of a business and a business that does that technical work are
two totally different things.
The Entrepreneur, the Manager, and the Technician
Everybody who goes into business is actually three-people-in-one: The
Entrepreneur, The Manager, and The Technician.
The Entrepreneur is our creative personality—always at its best dealing with
the unknown, prodding the future, creating probabilities out of
possibilities, engineering chaos into harmony.
The managerial personality is pragmatic. Without The Manager there would be
no planning, no order, no predictability.
The Technician is the doer.
“If you want it done right, do it yourself” is The Technician’s
credo.