Borobudur Marathon 2023

Borobudur Marathon merupakan salah satu ajang lari marathon terbesar di Indonesia, selain Bandung (PSRI), Bali (MBM), dan Jakarta Marathon. Melalui tulisan blog ini, saya mau berbagi pengalaman saya dalam berpartisipasi di marathon ketiga dalam hidup saya, setelah Tokyo dan Bandung.


Borobudur Marathon 2023


Bagian I : Persiapan Marathon

Setelah menjalani latihan intensif bersama ASICS Marathon Team, saya banyak belajar hal baru, terutama tentang bagaimana berlatih marathon dengan baik, serta jenis makanan (fueling) yang diperlukan oleh tubuh sebelum, selama, dan setelah lari. Saya bertekad untuk mencapai hasil terbaik di Borobudur Marathon, meskipun saya sadar bahwa rute di Borobudur lebih sulit daripada di Bandung, karena terdapat banyak tanjakan curam dan cuaca yang jauh lebih panas.


Mengingat pengalaman saya dalam latihan intensif untuk Pocari Sweat Run, saya memutuskan untuk membentuk sebuah komunitas kecil untuk berlatih bersama, yaitu dengan Iwan dan Adnan, keduanya adalah rekan kerja saya di Suitmedia yang juga mendaftar untuk Borobudur Marathon 2023. Saya membagikan menu latihan saya kepada mereka sebagai panduan untuk mempersiapkan diri selama 12 minggu sebelum hari perlombaan.


Suitmedia Marathon Team 2023

Secara dasar, menu latihan saya mirip dengan yang saya lakukan bersama coach Andriyanto, dengan sedikit penyesuaian pada jarak dan target pace. Menu latihan saya selama 12 minggu secara garis besar adalah: easy run 10 km (setiap Selasa dan Jumat), interval/tempo run (setiap Rabu), dan long run 16-30 km (setiap Minggu).


Week 1-3 : Base Building

Minggu pertama periode latihan saya bertepatan dengan minggu pemulihan setelah lomba half marathon di Maybank Marathon 2023, jadi jarak tempuh saya masih sedikit, hanya 35 km per minggu. Selama dua minggu di Bali, saya lebih banyak melakukan easy run, termasuk easy long run, sehingga target pace tidak terlalu ambisius. Saya baru bisa kembali melakukan long run dengan target pace yang sesungguhnya ketika sudah kembali ke Jakarta dan bergabung dalam long run bersama Road to Jakarta Marathon. Jarak tempuh mingguan saya pun perlahan-lahan naik menjadi 42-51 km.



Week 4-6 : Increasing Mileage

Di periode ini, jarak tempuh mingguan berkisar antara 41-49 km, masih di bawah target (50-60 km). Saya sempat melakukan latihan long run dengan berpartisipasi dalam Panglima TNI Run, serta long run bersama Pocari Sweat Road to Jakarta Marathon lagi. Latihan interval juga mencakup 3x1200 dan 5x1000.



Week 7-9 : Peak Training

Memasuki periode puncak latihan, jarak tempuh mingguan mencapai 60-65 km. Latihan interval semakin jauh, seperti 6x1000, 4x1600, dan 4x2000. Long run berkisar antara 25-30 km, dengan target pace di beberapa segmen sepanjang long run. Saya juga mulai melakukan strength training lagi, meskipun terlambat, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Saat melakukan peak long run (5x6000), saya menggunakan jasa kurir hidrasi sebagai mobile water station, yang membawa semua air minum saya ke setiap titik hidrasi yang sudah saya tentukan. Hal ini sangat membantu saya mencapai target waktu 3 jam 12 menit saat long run 30 km.



Week 10-12 : Tapering

Jarak tempuh mingguan selama periode tapering hanya sekitar 41-45 km, karena fokusnya bukan lagi meningkatkan performa, tetapi hanya mempertahankannya sambil memastikan proses pemulihan berjalan dengan baik hingga hari perlombaan.


Sehari sebelum hari perlombaan, saya berangkat bersama Iwan dan Adnan, serta Ivan (rekan kuliah, yang juga anggota CodeRunners ITB) dari Yogyakarta ke Magelang. Kami singgah terlebih dahulu di Artos Mall untuk mengambil paket lomba sebelum istirahat di hotel selama beberapa jam. Kami menginap di Magelang karena tidak banyak hotel di sekitar Candi Borobudur yang tersedia, sebagian besar sudah dipesan sejak tanggal perlombaan diumumkan oleh panitia.


Bagian II : Pengalaman Saat Race Day

Kami hanya tidur sekitar 4-5 jam, yang seharusnya sudah cukup, asalkan kita telah konsisten tidur cukup (6-8 jam) selama periode tapering. Karena kami menginap di Magelang, kami harus bangun jam 2 pagi dan check-out jam 3:15, agar bisa sampai di Borobudur sebelum jam 4 pagi. Meskipun jarak dari hotel ke candi hanya sekitar 18 km (atau 30 menit saja), kami harus memperhitungkan kemacetan jalanan menuju area parkir. Saya tidak ingin mengulangi pengalaman di Maybank Bali Marathon 2022 – tiba terlalu mepet sebelum waktu flag-off – di Borobudur.


Strategi Fueling

Saya mulai melakukan carbloading sejak tiba di Yogyakarta, atau 3 hari sebelum hari perlombaan. Makanan favorit saya di Yogyakarta adalah nasi gudeg, terutama dari Gudeg Bu Hj Amad dan Gudeg Sagan. Selain itu, saya juga mencoba menyesuaikan diri dengan minuman isotonik yang akan disediakan panitia di setiap water station, yaitu Isoplus.


Pada hari perlombaan, strategi fueling saya hampir sama persis dengan yang saya lakukan saat berlari marathon di Bandung (dengan penggantian minuman isotonik dari Pocari Sweat menjadi Isoplus, karena menyesuaikan dengan apa yang disediakan panitia), yaitu:

  • Satu jam sebelum race: Roti sobek cokelat Sari Roti 1/2 porsi (56 gram karbohidrat) + Isoplus 350 ml (23 gram karbohidrat, 150 mg natrium)
  • Sesaat sebelum start: EJ Sport Gel (35 gram karbohidrat + L-Carnitine) + Strive Gel (17 gram karbohidrat)
  • Saat berlari (setiap 4 km): Strive Gel (17 gram karbohidrat)
  • Saat melewati water station (ada 19 water station, setiap 2.0-2.5 km): Isoplus 100 ml (6.5 gram karbohidrat, 42 mg natrium)


Secara total, saya mengonsumsi sekitar 2250 ml air, 424.5 gram karbohidrat, dan 948 mg natrium, untuk berlari selama 4.5 jam. Jumlah karbohidrat tersebut memang melebihi kebutuhan saya (sebenarnya cukup 270 gram saja = 4.5 jam x 60 gram), tetapi saya berjaga-jaga jika ternyata gelas isotonik yang saya ambil berisi kurang dari 100 ml. Jumlah ini cukup untuk menjaga hidrasi dan energi saya hingga mencapai garis finish marathon.


KM 0-30 : Start Strong

Borobudur Marathon merupakan salah satu acara lari marathon paling menarik di Indonesia karena dukungan yang luar biasa dari masyarakat sekitar Borobudur, baik dari warga desa maupun anak-anak sekolah. Ada total 64 cheering zone yang tersebar di sepanjang rute semua kategori perlombaan Borobudur Marathon, terdiri dari 47 sekolah dan 17 desa. Selain itu, ada banyak cheering zone non-resmi, di mana warga Magelang menawarkan berbagai macam suguhan seperti buah-buahan, teh manis, dan kopi kepada para pelari, di jalanan depan rumah mereka. Pengalaman ini benar-benar unik dan belum tergantikan oleh acara marathon lain di Indonesia.


Semangat dari warga Magelang membuat saya sangat bersemangat sejak awal perlombaan, bahkan saya berlari dengan kecepatan yang lebih tinggi dari target pace yang seharusnya. Target finish saya adalah 4 jam 22 menit (atau 5 menit lebih cepat dari marathon di Bandung), yang berarti rata-rata pace sekitar 6'12 per kilometer. Namun, dalam 30 kilometer pertama, saya berhasil mempertahankan rata-rata pace sekitar 6'09 per kilometer, bahkan mencapai personal best untuk jarak 30 kilometer. Cuaca pagi saat itu (sebelum jam 8) masih cukup nyaman untuk berlari marathon, sehingga saya bahkan merasa yakin bisa mencetak personal best marathon pada hari itu.


KM 31-35 : Tanjakan Cinta

Kepercayaan diri saya mulai memudar saat memasuki kilometer 31 dan seterusnya. Setelah pukul 8 pagi, suhu udara meningkat dan terasa semakin panas. Kondisi ini diperparah dengan adanya "Tanjakan Cinta" di kilometer 35. Tanjakan ini terkenal karena kemiringannya yang cukup curam, sekitar 16%. Rata-rata pace saya pun turun drastis menjadi sekitar 6'40 - 7'03 per kilometer.


KM 36-42 : Finish Overheat

Setelah melewati Tanjakan Cinta, saya merasa kurang termotivasi untuk mengembalikan pace saya ke target semula. Jam menunjukkan sekitar pukul 8:40 dan suhu udara sudah mencapai lebih dari 35°C. Meskipun kaki saya masih mampu menghadapi tanjakan-tanjakan berikutnya, saya mulai merasa lelah untuk mengejar target pace 6'12, dan akhirnya saya memutuskan untuk berlari dengan pace yang lebih santai sekitar 7 menit per kilometer. Saya tidak lagi peduli dengan target personal best. Yang terpenting bagi saya saat itu adalah menyelesaikan perlombaan dan beristirahat karena panasnya cuaca sungguh luar biasa.


Kira-kira 500 meter sebelum garis finish, saya melihat Bahar (rekan dari ASICS Marathon Team) menyambut para pelari yang akan finish, termasuk saya. Hal ini membuat saya kembali bersemangat dan saya mempercepat langkah agar bisa menyelesaikan perlombaan dengan kuat. Puji Tuhan, saya berhasil menyelesaikan Borobudur Marathon dengan waktu 4 jam 33 menit (atau 6 menit lebih lambat dari marathon di Bandung). Mengingat kondisi cuaca dan tanjakan yang ada di Borobudur, saya cukup puas dengan hasil ini. Setidaknya, saya tidak terlalu kecewa.


Bagian III : Pasca Marathon

Saya menyelesaikan perlombaan sekitar pukul 9:35 dan segera mencari kolam es untuk berendam sambil menunggu rekan-rekan saya yang lain. Saya mendengar kabar bahwa panitia sempat meminta para pelari untuk memperlambat langkah atau bahkan berjalan kaki sejak pukul 11 karena kondisi cuaca yang sudah terlalu panas dan berpotensi membahayakan para pelari. Namun, saya kemudian mengetahui bahwa panitia sebenarnya menghentikan Borobudur Marathon sekitar pukul 10.30 (atau 1.5 jam lebih cepat). Panitia menyatakan bahwa suhu udara mencapai 36°C dengan suhu permukaan mencapai 50°C.


Setelah berfoto bersama rekan-rekan dari Suitmedia dan CodeRunners, serta mengabadikan momen di sekitar Candi Borobudur, kami segera pulang ke Yogyakarta. Saya menghabiskan recovery week saya dengan menikmati wisata kuliner selama 9 hari di Yogyakarta, Solo, dan Bandung, sambil melakukan recovery run ringan, sebelum akhirnya kembali ke Jakarta dan memulai latihan untuk Siksorogo Lawu Trail Run 30K. 😂


CodeRunners @ Borobudur Marathon 2023


Lesson Learned

Cuaca panas dan tanjakan curam menjadi dua faktor utama yang menghambat saya mencapai personal best marathon di Borobudur. Meskipun keduanya adalah faktor eksternal yang tidak bisa saya kendalikan, ada dua hal lain yang seharusnya masih dalam kendali saya, yaitu:

  1. Strength Training – Ini adalah kesalahan terbesar saya karena hanya melakukan latihan kekuatan dua kali selama periode 12 minggu persiapan marathon. Jika saya lebih rajin dalam latihan ini, energi saya mungkin tidak akan terkuras saat menghadapi tanjakan yang curam.
  2. Topi Lari – Awalnya saya berpikir bahwa hanya menggunakan kacamata gelap sudah cukup, namun sayangnya kacamata saya patah pada 10 km pertama. Jika saya menggunakan topi, mungkin suhu kepala saya bisa lebih terkendali, sehingga saya tidak akan merasa stres dan kehilangan semangat setelah mencapai kilometer 35.


Semoga dari pengalaman saya di atas, kita semua dapat belajar untuk lebih disiplin dalam berlatih, serta menjaga kesehatan dan kebugaran. Sampai jumpa di marathon berikutnya! Cheers!


No comments :