BDG100. Mendengar namanya saja lutut sudah berasa mau copot. Race ini terkenal dengan elevasi yang lumayan menantang, tanjakan yang bikin meringis, dan pemandangan yang menyegarkan jiwa. Tahun ini? Saya memutuskan untuk ikut gila. Kenapa? Karena konon katanya, di balik setiap tantangan tersembunyi pelajaran berharga.. 🙈
BDG Ultra bukan sekadar lari. Ini pendakian yang panjang dan melelahkan. Jaraknya paling jauh yang pernah saya tempuh. Bayangkan saja, 64K dengan elevasi 3600m+. Sedikit di bawah BTR Ultra 55K yang punya 3700m+. Tapi tetap saja… bikin dengkul gemetar!
Kunci menaklukkan BDG Ultra? Persiapan matang. Idealnya sih begitu. Tapi, persiapan saya kali ini agak… absurd. Jadi begini ceritanya…
BDG Ultra 64K |
Semua gara-gara marathon. Latihan saya fokus ke Pocari Sweat Run (sebagai pacer) dan Maybank Bali Marathon (sebagai peserta). Masalahnya? Jarak keduanya dekat banget dengan BDG Ultra. Sempat sekali saya latihan trail run, itu pun acara hash di Karangasem, Bali. Lucunya, ini malah bikin performa saya di Bali Marathon ambyar! Tapi ternyata, malah membantu di BDG Ultra.
Setelah Bali Marathon, saya cuma fokus recovery. Percaya sama konsep supercompensation. Berharap bisa ajaib tampil prima di kedua race. Ya, namanya juga usaha.
Soal perlengkapan? Nggak ada yang wah. Saya kira Bandung bakal dingin, jadi pakai legging. Eh, malah gerah! Sisanya standar, sama kayak BTR Ultra.
Nah, ini yang penting: nutrisi! Water station BDG Ultra itu levelnya udah kayak kondangan. Makanannya? Bejibun! Ada soto, sop ayam, bubur kacang ijo, bandrek… lengkap! Relawannya juga juara. Mereka sigap isi botol minum, pijat kaki yang mau copot, kasih semangat pula. Kalau ada piala buat water station terbaik, fix BDG Ultra yang menang!
Oke, balik ke race. Lari trail itu bukan cuma soal cepat. Tapi juga soal strategi. Kapan harus lari? Kapan harus jalan? Gimana caranya biar nggak pengen nyerah?
Tanjakan? Bukan musuh saya. Serius! Malah turunan yang bikin saya insecure. Jadi, strategi awalnya adalah pacing secepat mungkin. Biar nggak kejebak antrean pendaki di tanjakan. Saya ngebut dari titik start di Hotel Jayakarta, lewatin Tahura, sampai akhirnya jalur lancar jaya.
Kalau tanjakannya curam? Trekking pole keluar! Beban badan pindah ke tangan. Lumayan membantu dengkul yang udah mau protol.
Ujian mental terberat? Panasnya siang bolong! Untungnya, pemandangan Bandung dengan pohon-pohon hijaunya lumayan menyegarkan mata. Walaupun tetap aja pengen nyebur ke kolam.
Start mulai pagi. Suasana heboh. Saya lari melewati Tahura yang rindang. Tanjakan demi tanjakan menghadang. Water station BDG Ultra tetap yang terbaik! Relawan sigap, makanan enak!
Momen paling absurd? Sampai Puncak Upas pas maghrib. Gelap gulita! Saya sendirian, pakai headlamp yang redupnya minta ampun. Tiba-tiba ada dua pelari nyalip. Refleks, saya ikut mereka sekuat tenaga. Tapi ya gitu deh… ketinggalan. Headlamp saya jelek, saya lemah di turunan makadam. Ngenes!
Turunan makadam di Puncak Upas itu… hell! Tumit kaki kanan saya langsung protes. Sampai sekarang masih suka nyeri. Hiks!
Akhirnya? Saya finish sekitar jam 20:15. Lari 15 jam! Setelah ultra trail kedua ini, nggak ada teman yang nyambut di garis finish. Ya sudahlah. Saya langsung pulang ke hotel, hibernasi sampai keesokan harinya.
BDG Ultra itu gila! Menguji fisik dan mental sampai batas maksimal. Saya belajar banyak tentang diri sendiri, tentang ketahanan, dan tentang pentingnya persiapan (walaupun persiapan saya agak amburadul). BDG Ultra bukan sekadar lari. Ini perjalanan spiritual… dan wisata kuliner sop ayam gratis!
Tertarik mencoba BDG Ultra? Jangan takut dengan tanjakan. Jangan gentar dengan turunan. Karena di setiap langkah, di setiap kilometer, kamu akan menemukan kekuatan yang mungkin belum kamu sadari. Siap untuk menaklukkan dirimu sendiri? Sampai jumpa di BDG Ultra 2025!
No comments :
Post a Comment